UU Ormas, Dulu dan Sekarang
Sulit mengamati wujud efektivitas Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan. Tepat pada 2 Juli 2013, UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan disahkan. Implementasi UU Ormas ini pun tak luput dari pengamatan Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB).
Ternyata, lahirnya UU baru yang menjadi pengganti UU No
8/1985 itu justru menuai permasalahan baru. Padahal, jika dicermati kembali
dalam sejarah perjalanan UU ini, keberadaan UU No 8/1985 dibuat pemerintahan
Orde Baru untuk mengontrol masyarakat melalui wadah dan asas tunggal bagi berbagai
bentuk dan jenis organisasi.
Jika merunut ingatan kita ke belakang, pada 1987, Pemuda
Islam Indonesia (PII) dibubarkan oleh Menteri Dalam Negeri waktu itu, Suparjo
Rustam, karena menolak pengaturan ormas tersebut.
Kemudian di era Reformasi, DPR dan pemerintah segera
mengganti UU No 8/1985 dengan UU No 17/2013. Tujuannya untuk mengatasi
terorisme, tindak pidana pencucian uang, tindak kekerasan, dan mendorong
transparansi serta akuntabilitas ormas.
Dalam UU Ormas, semua bentuk organisasi yang tumbuh dalam
masyarakat disebut organisasi kemasyarakatan. Mulai dari yang berbadan hukum
hingga tidak berbadan hukum. UU Ormas pun mengatur organisasi yang bergerak
nyaris di seluruh bidang, dari bidang keagamaan hingga seni.
"Artinya, secara praktik, lembaga pengelola pesantren,
amil zakat, panti asuhan, rumah sakit, sekolah, organisasi kepemudaan,
komunitas pencinta seni dan film, asosiasi atau perkumpulan keilmuan, profesi,
hobi, organisasi sosial atau filantropi, hingga paguyuban keluarga diatur oleh
UU Ormas," kata anggota Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB), Fransisca
Fitri, dalam diskusi publik "Laporan Tahun Kedua Pelaksanaan UU
Ormas" di Kampus Universitas Muhammadiyah Jakarta di Ciputat, Tangerang
Selatan, Kamis (12/11).
Implementasi UU Ormas
Pemantauan terhadap implementasi UU Ormas tersebut dilakukan
KKB, terutama pasca pembatalan dan juga pengubahan sejumlah pasal yang
ditetapkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 23 Desember 2014. Dari 21 pasal yang
diajukan Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk diuji materi secara hukum, ternyata
MK melalui putusan Nomor 82/PUU-XI/2013 hanya mengesahkan sembilan pasal baik
dibatalkan maupun dihapuskan. Sementara KKB mengajukan uji materi sebanyak
sembilan pasal dan hanya satu pasal yang diputuskan MK.
Beberapa bulan setelah putusan MK, kata Fransisca, Menteri
Dalam Negeri merilis Surat Edaran Nomor 220/0190/Kesbangpol tentang penjelasan
putusan MK terhadap UU No 17/2013. Isinya memuat dan menekankan hasil putusan
MK. Hanya saja, tafsir atas frasa putusan ini berpotensi menimbulkan
ketidakpastian hukum.
Bisa juga diterjemahkan di tingkat lokal menjadi secara luas
dan justru bertentangan dengan UU Ormas serta mengancam kehidupan demokrasi di
Indonesia.
Fransisca menunjukkan contoh riil di Pemerintah Kabupaten
Gorontalo. Pemkab menafsirkan pelayanan pemerintah dengan membuat kebijakan
"tidak akan melayani" permohonan bantuan dalam bentuk apa pun,
memberikan keterangan atau wawancara, atau sampai tidak menghadiri undangan
kegiatan dari ormas yang tidak terdaftar. Kebijakan ini ditetapkan lewat SE
Bupati Nomor 200/BKBPL/182/IV/2015 tentang keberadaan ormas/lembaga swadaya
masyarakat.
Kepala Sub-Direktorat Kemitraan dan Pemberdayaan Ormas
Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Mohammad B Saudy
mengatakan, "Pemerintah sesungguhnya tidak hanya ingin ormas menjadi
sebuah organisasi besar saja, tetapi juga menginginkan ormas bisa menjadi mitra
dan melakukan kontrol terhadap pembangunan. Semakin banyak ormas, semakin baik
kontrol terhadap kebijakan bagi pembangunan."
Menurut Saudy, saat gugatan uji materi diajukan dan
berproses di MK, tidak ada niat sedikit pun dari pemerintah untuk merasa
menang. Bahkan, ketika sejumlah pasal diubah atau dihapus oleh MK, pemerintah
juga tidak merasa sedih. Meski demikian, pemerintah tetap membuat tata cara
pendaftaran ormas agar diterbitkan surat keterangan terdaftar (SKT).
Dosen Pascasarjana UMJ, Endang Rudianto, mengatakan, hingga
kini ada sekitar 140.000 ormas di Indonesia yang terdaftar dan memiliki SKT
baik dari pemerintah setempat maupun Ditjen Kementerian Dalam Negeri. Sementara
ormas yang tidak terdaftar diperkirakan mencapai tiga kali lipatnya.
Menurut Endang, pasca 32 tahun berada di dalam genggaman kekuatan pemerintahan Orde Baru, bangsa yang menginginkan sebuah pembaharuan atau reformasi ini memang sepertinya belum siap terhadap kebijakan dan pembangunan sistem yang baru. Apa pun yang diputuskan MK, UU Ormas memang tak luput dari kelemahan, di antaranya menyangkut sanksi, larangan, atau pembubaran terhadap ormas jika melakukan pelanggaran.
Sumber Berita : Kompas
0 komentar:
Posting Komentar